Pernahkah kita memperhatikan seorang pejabat menghadiri suatu undangan atau acara? Menghadiri perayaan tujuhbelas agustusan misalnya, atau menghadiri tabligh akbar, natalan, atau juga seremonial umum yang lain. Seperti contoh, seorang camat menghadiri perayaan tujuhbelas agustusan di kecamatannya, seorang pejabat diundang ke acara tabligh akbar, atau bahkan seorang presiden menghadiri suatu acara peresmian sesuatu hal. Coba kita perhatikan, seberapa lama mereka betah mengikuti acara itu berlangsung? Apakah pernah anda melihat seorang pejabat teras yang betah duduk berlama-lama dalam suatu acara dari awal acara hingga selesai?
Menurut pengamatan saya belum pernah ada seorang pejabat teras yang betah duduk berlama-lama dalam suatu acara. Sudah jadi jawaban klise dengan dalil mengatakan masih banyak acara lagi yang mau dihadiri. Benarkah? Apakah setiap ada undangan/acara selalu saja berbarengan dengan acara yang lain? Begitukah selalu? Jika kita berfikir logika pasti kita bilang tak selalu. Tapi selalu saja kita melihat orang-orang terhormat itu tidak betah berlama-lama dalam suatu acara.
Namun pemikiran saya yang seperti itu harus saya ralat sejak dari kemarin. Saya begitu terkesan dengan seorang pemimpin HKBP Ephorus DR.Bonar Napitupulu yang saya lihat kemarin. Baru pertama kali saya melihat beliau secara langsung walaupun sudah sejak dahulu saya menjadi jemaat atau warga HKBP, di pesta Jubileum HKBP Distrik XIX Jakarta II yang saya ikuti kemarin bertempat di gedung Sport Hall Kelapa Gading Jakarta yang juga dihadiri oleh sesepuh HKBP itu. HKBP adalah organisasi ke-3 terbesar di Indonesia setelah NU dan Muhammadiyah.
Saya "jatuh cinta" kepada beliau, ya.... itu benar. Entah lah... apakah saya terlalu dini menyimpulkan penilaian baik saya terhadap beliau, apakah satu hari terlalu sedikit untuk tahu watak seorang pejabat setinggi beliau. Yang jelas saya sungguh-sungguh kagum dengan beliau, Oppung Ephorus, begitu pada umumnya beliau disebut.
Sejak awal saya lihat beliau berdiri di mimbar untuk menyampaikan khotbah di perayaan akbar itu, saya sangat suka dengan metode penyampaian khotbahnya, begitu tegas dan berapi-api. Juga pada saat menyelipkan jokes-jokes ringan dalam khotbahnya, saya kutip kalimat beliau,
"Seorang jemaat berkata, saya bersyukur Ephorus bisa hadir, jangan pernah bersyukur pada saya, kalau berterimakasih itu boleh, sebab bersyukur itu hanya diucapkan pada Allah saja, bersyukur itu berbeda dengan berterimakasih, bersyukur berasal dari kata kharis yang artinya karena anugerah Tuhan. Berterimakasih lah yang setinggi-tingginya kepada Angkatan Udara, sebab Angkatan Udara itu melayang tinggi, berterimakasih lah yang sedalam-dalamnya kepada Angkatan Laut, sebab yang paling dalam itu laut, berterimakasih lah yang seluas-luasnya kepada Angkatan Darat, sebab darat itu luas, berterimakasih lah yang sebesar-besarnya kepada polisi, sebab kalau kecil terima kasihnya bisa-bisa urusan berlanjut, berterimakasih lah yang setulus-tulusnya kepada pendeta, sebab pendeta itu selalu tulus dan tulus menerima amplop." Lalu disambut dengan gggrrrrrrrrrr.....jemaat.
Salah seorang fotographer yang hilir mudik mengambil gambar beliau saat khotbah berlangsung, tak ayal mendapat teguran langsung dari beliau, ya memang benar, khotbah adalah firman Tuhan, kita mutlak harus menghargai firman itu, sebab firman itu adalah perkataan Tuhan.
Yang paling membuat saya terkesan dengan khotbahnya yaitu, beliau begitu memahami siapa yang sedang duduk mendengarkan khotbahnya. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak juga turut serta dalam acara itu. Sudah barang tentu anak-anak kurang bisa mencerna materi khotbah yang disampaikan kepada orang dewasa. Dengan bahasa Indonesia nya yang sangat kental sekali dengan logat Batak, beliau mendongeng kepada anak-anak tersebut tentang seorang pangeran yang ganteng yang mau berkorban menyelamatkan seorang gadis cilik berumur 3 tahun anak seorang wanita tua pencari kayu api. Jujur, saya sangat suka dengan logat beliau.
Setelah acara ibadah selesai, dilanjutkan dengan acara manortor. Sudah lazim di saat sekarang ini manortor dilakukan dengan tortor gaya bebas. Sekali lagi dengan tegas beliau mengatakan bahwa orang tua harus memberi contoh yang baik kepada generasi muda. Manortor yang sesungguhnya itu bukanlah seperti tortor gaya bebas yang sering dilakukan kebanyakan orang saat ini.
"Dang boi mangerbang tangan so jolo manghuling sarune, ido na sasintong na. (Tidak bisa membuka telapak tangan sebelum sarune berbunyi)", kata beliau.
Bahkan saat maminta gondang beliau sempat marah kepada seorang panitia yang menyuruh jemaat tertib saat beliau sedang berbicara. Saya yang duduk menonton di tribun mendengar seorang jemaat berkata,
"Koq seorang Ephorus marah-marah?"
Lho.. apakah rasa marah bukan hal yang wajar? Tuhan Yesus saja pernah marah saat melihat orang banyak yang berjualan di bait suci, pikir saya dalam hati.
Dengan langkah tertatih beliau manortor, memimpin rombongan pendeta beserta para istri untuk manortor. Memperlihatkan kepada kami generasi muda cara manortor yang sebenarnya. Walaupun belum bisa kami terapkan namun setidaknya saya dan generasi muda lainnya yang mendengar itu bisa tahu dan mengerti cara dan bagaimana manortor yang benar.
Sampai acara selesai, di saat jemaat dan parhalado sudah banyak yang pulang, tetapi beliau dan istri masih setia duduk menunggu acara berakhir. Untuk ukuran seusia beliau yang sudah lanjut umur sebenarnya kita bisa maklum seandainya beliau lebih cepat meninggalkan acara. Tapi beliau lebih memilih tetap di situ sampai acara selesai. Kenapa ya, apa beliau yang sudah serenta itu tidak capek, saya saja yang masih muda sudah merasakan capek minta ampun? Pikir saya dalam hati. Apa sih yang mau dicari Ephorus ini sebenarnya, jika beliau hanya ingin mencari simpati orang banyak toh beliau juga sebentar lagi akan lengser dan tidak bisa lagi mencalonkan diri. Bukankah sebenarnya beliau bisa untuk sedikit berleha-leha di akhir masa jabatannya itu? Atau seperti yang sering saya baca di status-status facebook sebagian anggotanya yang mengeluhkan kepemimpinan beliau, apakah seperti itu adanya beliau? Hal kecil yang saya lihat dari keberadaan beliau di sini sampai acara selesai bisa menjelaskan kepada saya bahwa tanggapan-tanggapan negatif dari segelintir orang atas kepemimpinan beliau sama sekali tidak berdasar. Saya bisa melihat tanggung jawab yang begitu besar dari beliau, saya suka dengan ketegasan beliau, saya suka dengan "marah"nya beliau. Saya benar-benar "jatuh cinta" dalam sehari kepada beliau.
Akhir kata, saya ingin seperti beliau, bukan dalam arti bisa jadi Ephorus seperti beliau, karena tidak mungkin saya bisa jadi Ephorus jika saya berpendidikan di bidang ekonomi. Saya hanya ingin meniru kepemimpinan beliau, ketegasan beliau, tanggung jawab beliau dan wibawa beliau. Semoga Bonar- Bonar yang lain juga banyak bermunculan di HKBP khususnya dan di dunia ini pada umumnya.
Camra, 11/28/11
Jecqlien Netty Marpaung.
Kosa kata
Ephorus = Pemimpin tertinggi dalam organisasi keagamaan HKBP.
Oppung = Panggilan kepada seorang tua yang dihormati.
Manortor = menari dalam budaya Batak.
Sarune = Alat musik tiup.
maminta gondang = Meminta gendang kepada juru musik, salah satu ritual dalam manortor.
Parhalado = Pekerja pada rumah ibadah/gereja.
(Artikel ini dibuat untuk tugas Ilmu Budaya Dasar dengan tema MANUSIA DAN TANGGUNG JAWABNYA.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar