LATAR BELAKANG.
Krisis moneter yang melanda beberapa negara di
kawasan Asia pada tahun 1998 setidaknya menjadi saksi sejarah dan sekaligus
memberikan pelajaran yang sangat berharga bahwa sesungguhnya pengembangan
ekonomi bangsa yang berbasis konglomerasi itu rentan terhadap krisis moneter.
Sementara itu pada saat yang sama kita dapat menyaksikan bahwa ekonomi
kerakyatan (koperasi) mampu menunjukkan daya tahannya terhadap gempuran badai
krisis moneter yang melanda Indonesia. Pada sisi lain era globalisasi dan
perdagangan bebas yang disponsori oleh kekuatan kapitalis membawa konsekuensi
logis antara lain semakin ketatnya persaingan usaha di antara pelaku-pelaku
ekonomi berskala internasional dalam hal ini perusahaan-perusahaan
multinasional yang dikelola dengan mengedepankan prinsip ekonomi yang rasional
akan berhadapan dengan koperasi yang dalam banyak hal tidak sebanding
kekuatannya.
PENDAHULUAN.
Ekonomi rakyat beberapa waktu terakhir menjadi
istilah baru yang banyak didiskusikan
dalam berbagai forum dan oleh banyak pihak. Bukan tanpa alasan ekonomi
rakyat seolah-olah menjadi trendsetter baru dalam wacana pembangunan. Ambruknya
ekonomi Indonesia yang selama lebih dari tiga dasawarsa selalu dibanggakan oleh
pemerintah memaksa berbagai pihak meneliti kembali struktur perekonomian
Indonesia. Berbagai kajian yang dilakukan
berhasil menemukenali satu faktor kunci yang menyebabkan keambrukan
ekonomi Indonesia yaitu ketergantungan ekonomi Indonesia pada sekelompok usaha
dan konglomerat yang ternyata tidak memiliki struktur internal yang sehat. Ketergantungan tersebut merupakan
konsekuensi logis dari kebijakan ekonomi neoliberal yang mengedepankan
pertumbuhan dengan asosiasi apabila pertumbuhan tinggi dengan sendirinya akan
membuka banyak lapangan kerja makan kemiskinan akan berkurang. Kebijakan
ekonomi tersebut ternyata menghasilkan struktur ekonomi yang tidak seimbang.
Dalam struktur ekonomi yang tidak seimbang tersebut sekelompok kecil elit
ekonomi mendapatkan berbagai fasilitas dan hak istimewa untuk menguasai
sebagian besar sumber daya ekonomi dan karenanya mendominasi pertumbuhan
ekonomi dan pangsa pasar. Mana kala elit ekonomi tersebut mengalami problema
keuangan konsekuensi logisnya berbagai indicator seperti PDB dan pertumbuhan
ekonomi menunjukkan kemerosotan.
TINJAUAN TEORI
Keberadaan beberapa koperasi telah dirasakan peran
serta manfaatnya bagi masyarakat, walaupun derajat dan intensitasnya berbeda
setidaknya terdapat tiga bentuk eksistensi koperasi bagi masyarakat,
Pertama, koperasi dipandang sebagai lembaga yang
menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu dan kegiatan usaha tersebut
diperlukan oleh masyarakat. Kegiatan usaha dimaksud dapat berupa pelayanan
kebutuhan keuangan atau perkreditan atau kegiatan pemasaran atau kegiatan lain,
pada tingkatan ini biasanya koperasi menyediakan pelayanan kegiatan usaha yang
tidak diberikan oleh lembaga usaha lain atau lembaga usaha lain tidak dapat
melaksanakannya akibat adanya hambatan peraturan. Peran koperasi ini juga
terjadi jika pelanggan memang tidak memiliki aksesibilitas pada pelayanan dari
lembaga lain. Hal ini dapat dilihat pada peran beberapa koperasi kredit dalam
menyediakan dana yang relative mudah bagi anggotanya dibandingkan dengan
prosedur yang harus ditempuh untuk memperoleh dana dari bank. Juga dapat
dilihat pada beberapa daerah yang mana aspek geografisnya menjadi kendala bagi
masyarakat untuk menikmati pelayanan dari lembaga selain koperasi yang berada
di wilayahnya.
Kedua, koperasi telah menjadi alternative bagi
lembaga usaha lain, pada kondisi ini masyarakat telah merasakan bahwa manfaat
dan peran koperasi lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain. Keterlibatan
anggota (atau pun bukan anggota) dengan koperasi adalah karena pertimbangan
rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan yang lebih baik.
Koperasi yang telah berada pada kondisi ini dinilai berada pada tingkat yang
lebih tinggi dilihat dari perannya bagi masyarakat. Beberapa KUD atau beberapa
kegiatan usaha tertentu diidentifikasikan mampu memberi manfaat dan peran yang
memang lebih baik dibandingkan dengan lembaga-lembaga usaha lain, demikian pula
dengan koperasi kredit.
Ketiga, koperasi menjadi organisasi yang dimiliki
oleh anggotanya, rasa memiliki ini dinilai telah menjadi faktor utama yang
menyebabkan koperasi mampu bertahan pada berbagai kondisi sulit yaitu dengan
mengandalkan loyalitas anggota dan kesediaan anggota untuk bersama-sama dengan
koperasi menghadapi kesulitan tersebut.
Berdasarkan ketiga kondisi di atas, maka wujud peran
yang diharapkan sebenarnya adalah agar koperasi dapat menjadi organisasi milik
anggota sekaligus mampu menjadi alternative yang lebih baik dibandingkan dengan
lembaga lain. Namun di antara peran dan manfaat koperasi di atas ternyata lebih
banyak lagi koperasi terutama KUD yang tidak mendapatkan apresiasi dari masyarakat
karena berbagi faktor. Faktor utamanya adalah ketidakmampuan koperasi
menjalankan fungsi sebagaimana yang dijanjikan serta banyak melakukan
penyimpangan atau kegiatan lain yang mengecewakan masyarakat. Kondisi ini telah
menjadi sumber citra buruk koperasi secara keseluruhan.
Pada masa yang akan datang masyarakat masih
membutuhkan layanan koperasi. Alasan utama kebutuhan tersebut adalah dasar
pemikiran ekonomi dalam konsep pendirian koperasi, seperti untuk meningkatkan
kekuatan penawaran (bargaining position) peningkatan skala usaha bersama,
pengadaan pelayanan yang selama ini tidak ada serta pengembangan kegiatan
lanjutan (pengolahan, pemasaran dan sebagainya) dari kegiatan anggota. Alasan
lain adalah karena adanya peluang untuk mengembangkan potensi usaha tertentu
(yang tidak berkaitan dengan usaha anggota) atau karena memanfaatkan fasilitas
yang disediakan pihak lain (pemerintah) yang mensyaratkan kelembagaan koperasi,
sebagaimana bentuk praktek pengembangan koperasi yang dilakukan selama ini.
Namun alasan lain yang sebenarnya juga sangat potensial sebagai sumber
perkembangan koperasi seperti alasan untuk memperjuangkan semangat kerakyatan,
demokratisasi atau alasan sosial politik lain, tampaknya belum menjadi faktor
yang dominan. Alasan kebutuhan awal atas keberadaan koperasi tersebut sangat
dipengaruhi oleh pola hubungan koperasi dan anggota serta masyarakat yang
didominasi pola hubungan bisnis. Hal ini sangat terlihat dalam pola hubungan
koperasi dan anggota di KUD, akibatnya sering terjadi koperasi yang tidak
berkoperasi atau dikenal pula sebagai koperasi pengurus dan koperasi investor
karena koperasi dan anggota menjadi entitas yang berbeda, melakukan transaksi
satu dengan yang lainnya bahkan tidak jarang saling berbeda kepentingan
pengurus dan investor di satu pihak anggota di pihak lainnya.
Dari beberapa perkembangan koperasi kredit terlihat
bahwa pola hubungan koperasi dan anggota yang sesuai dengan prinsip dasar
koperasi memang membutuhkan proses. Namun jika kesadaran anggota telah berhasil
ditumbuhkan maka kesadaran tersebut akan menjadi dasar motivasi dimana pola
hubungan bisnis dapat berkesinambungan melalui partisipasi yang kemudian
berkembang menjadi loyalitas. Pola yang
tidak hanya hubungan bisnis tersebut kemudian akan menjadi sumber kekuatan koperasi.
Hal ini ditunjukkan oleh beberapa koperasi kredit dimana jika dalam masa krisis
banyak KUD dan lembaga usaha lainnya gulung tikar, beberapa koperasi kredit
justru menunjukkan peningkatan kinerja baik dilihat dari omset, SHU dan jumlah
anggota.
FAKTOR FUNDAMENTALIS EKSISTENSI DAN PERANAN KOPERASI
Berdasarkan pengamatan atas banyak koperasi serta
menggali aspirasi berbagai pihak yang terkait dengan perkembangan koperasi,
khususnya para partisipan koperasi itu sendiri yaitu anggota dan pengurus, maka
dapat disintesakan beberapa faktor fundamental yang menjadi dasar eksistensi
dan peran koperasi di masyarakat. Faktor-faktor berikut merupakan faktor
pembeda antara koperasi yang tetap eksis dan berkembang dengan
koperasi-koperasi yang telah tidak berfungsi bahkan telah tutup. Koperasi akan
eksis jika terdapat kebutuhan kolektif untuk memperbaiki ekonomi secara
mandiri.
Masyarakat yang sadar akan kebutuhannya untuk
memperbaiki diri, meningkatkan kesejahteraannya, atau mengembangkan diri secara
mandiri merupakan prasyarat bagi keberadaan koperasi. Kesadaran ini akan
menjadi motivasi utama bagi pendirian koperasi dari bawah atau secara bottom
up. Faktor kuncinya adalah kesadaran kolektif dan kemandirian. Dengan demikian
masyarakat tersebut harus pula memahami kemampuan yang ada dalam diri mereka sendiri
sebagai modal awal untuk mengembangkan diri. Faktor eksternal dapat diperlukan
sebagai penunjang atau komplemen bagi kemampuan sendiri tersebut.
Koperasi akan berkembang jika terdapat kebebasan
(independensi) dan otonomi untuk berorganisasi. Koperasi pada dasarnya
merupakan suatu cita-cita yang diwujudkan dalam bentuk prinsip-prinsip dasar,
wujud praktisnya termasuk struktur organisasinya sangat ditentukan oleh
karakteristik lokal dan anggotanya. Dengan demikian format organisasi tersebut
akan mencari bentuk dalam suatu proses perkembangan sedemikian rupa sehingga
akhirnya akan diperoleh struktur organisasi termasuk kegiatan yang akan
dilakukannya yang paling sesuai dengan kebutuhan anggota. Pengalaman pengembangan
KUD dengan format yang seragam justru telah menimbulkan ketergantungan yang
tinggi terhadap beberapa faktor eksternal, sedangkan KUD yang berhasil bertahan
justru adalah KUD yang mampu secara kreatif dan sesuai dengan kebutuhan anggota
dan masyarakat mengembangkan organisasi dan kegiatannya.
Keberadaan koperasi akan ditentukan oleh proses
pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi. Faktor pembeda koperasi dengan
usaha lain adalah bahwa dalam koperasi terdapat nilai-nilai dan prinsip yang
tidak terdapat atau tidak dikembangkan secara sadar dalam organisasi lain. Oleh
sebab itu pemahaman atas nilai-nilai koperasi keterbukaan, demokrasi,
partisipasi, kemandirian, kerjasama, pendidikan dan kepedulian pada masyarakat
seharusnya menjadi pilar utama dalam perkembangan suatu koperasi. Pada gilirannya kemudian
nilai dan prinsip itulah yang akan menjadi faktor penentu keberhasilan
koperasi. Sehingga salah satu faktor fundamental bagi keberadaan koperasi
ternyata adalah jika nilai dan prinsip koperasi tersebut dapat dipahami dan
diwujudkan dalam kegiatan organisasi. Disadari sepenuhnya bahwa pemahaman
nilai-nilai tersebut tidak dapat terjadi dalam semalam tetapi melalui suatu
proses pengembangan yang berkesinambungan setahap demi setahap terutama
dilakukan melalui pendidikan dan sosialisasi
dengan tetap memberikan tempat bagi perkembangan aspirasi local yang
spesifik menyangkut implementasi bahkan pengayaan (enrichment) dari nilai-nilai
koperasi yang universal tersebut. Dengan demikian proses pengembangan pemahaman
nilai-nilai koperasi akan menjadi salah satu faktor penentu keberadaan
koperasi.
Koperasi akan semakin dirasakan peran dan manfaatnya
bagi anggota masyarakat pada umumnya jika terdapat kesadaran dan kejelasan
dalam hal keanggotaan koperasi. Hal ini secara khusus mengacu pada pemahaman
anggota dan masyarakat akan perbedaan hak dan kewajiban serta manfaat yang
dapat diperoleh dengan menjadi anggota dan tidak menjadi anggota. Jika terdapat
kejelasan atas keanggotaan koperasi dan manfaat yang akan diterima anggota yang
tidak dapat diterima oleh non anggota maka akan terdapat insentif untuk menjadi
anggota koperasi. Pada gilirannya hal ini kemudian akan menumbuhkan kesadaran
kolektif dan loyalitas anggota kepada organisasinya yang kemudian akan menjadi
basis kekuatan koperasi itu sendiri.
Koperasi akan eksis jika mampu mengembangkan
kegiatan usaha yang (a) luwes (flexible) sesuai dengan kepentingan anggota, (b)
berorientasi pada pemberian pelayanan bagi anggota, (c) berkembang sejalan
dengan perkembangan usaha anggota, (d) biaya transaksi antara koperasi dan
anggota mampu ditekan lebih kecil dari biaya transaksi non koperasi, dan (e)
mampu mengembangkan modal yang ada di dalam koperasi dan anggota sendiri.
Kegiatan usaha yang dikembangkan koperasi pada
prinsipnya adalah kegiatan yang terkait dengan kepentingan anggota. Salah satu
indikator utama keberhasilan kegiatan usaha tersebut adalah jika usaha anggota
berkembang sejalan dengan perkembangan usaha koperasi. Oleh sebab itu jenis
usaha koperasi tidak dapat diseragamkan untuk setiap koperasi, sebagaimana
tidak dapat diseragamkannya pandangan mengenai kondisi masyarakat yang menjadi
anggota koperasi.
Biaya transaksi yang ditimbulkan apabila anggota
menggunakan koperasi dalam melakukan kegiatan usahanya juga perlu lebih kecil
jika dibandingkan dengan tanpa koperasi. Hal ini akan menjadi penentu apakah
keberadaan koperasi dan keanggotaan koperasi memang memberikan manfaat bisnis.
Jika biaya transaksi tersebut memang dapat menjadi insentif bagi keanggotaan
koperasi maka produktifitas modal koperasi akan lebih besar dibandingkan
lembaga lain. Langkah selanjutnya yang perlu dikembangkan oleh suatu koperasi
adalah agar hasil produktifitas tersebut dapat dipertahankan dalam sistem
koperasi. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa salah satu faktor yang
menyebabkan lemahnya lembaga koperasi adalah karena nilai lebih dari perputaran
modal dalam sistem koperasi ternyata lebih banyak diterima oleh lembaga-lembaga
di luar koperasi dan anggotanya. Hal ini memang merupakan suatu catatan penting
yang harus diperhatikan sebagai akibat dari sistem perbankan yang sentralistik
seperti yang dianut saat ini.
Jika koperasi memang tidak menyadari pentingnya
keterkaitan usaha antara usaha koperasi itu sendiri dengan usaha anggotanya,
maka salah satu strategi dasar yang harus dikembangkan oleh koperasi adalah
untuk mengembangkan kegiatan usaha anggota dan koperasi dalam satu kesatuan
pengelolaan. Hal ini akan berimplikasi pada berbagai indikator keberhasilan
usaha koperasi dimana faktor kebehasilan usaha anggota harus menjadi salah satu
indikator utama.
Keberadaan koperasi yang sangat ditentukan oleh
kesesuaian faktor-faktor tersebut dengan karakteristik masyarakat atau
anggotanya. Jika dilihat dari kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini maka
dapat disimpulkan bahwa koperasi dapat tumbuh, berkembang dan sekaligus juga
berperan dan bermanfaat bagi masyarakat yang tengah berkembang dari suatu
tradisionil dengan ikatan sosiologis yang kuat melalui hubungan emosional
primer kearah masyarakat yang lebih heterogen dan semakin terlibat dengan
sistem pasar. Proses yang dilakukan dalam pengembangan koperasi memang
membutuhkan waktu yang lebih lama dengan berbagai faktor non bisnis yang kuat
pengaruhnya. Dengan demikian pemenuhan berbagai
faktor fundamental tersebut dapat menyebabkan indikator kinerja lain
seperti pertumbuhan bisnis jangka pendek harus dikorbankan demi memperoleh
kepentingan yang lebih mendasar dalam jangka panjang.
PEMBAHASAN PERANAN KOPERASI DALAM PEMBANGUNAN
OKONOMI DI INDONESIA.
Dalam kondisi sosial dan ekonomi yang sangat
diwarnai oleh peranan dunia usaha maka mau tidak mau peran dan juga kedudukan
koperasi dalam masyarakat akan sangat ditentukan oleh perannya dalam kegiatan
usaha (bisnis). Bahkan peran kegiatan usaha koperasi tersebut kemudian menjadi
penentu bagi peran lain seperti peran koperasi sebagai lembaga sosial.
Beberapa koperasi pada beberapa bidang usaha sebenarnya
telah menunjukkan kinerja usaha yang sangat baik, bahkan telah mampu menjadi
pelaku utama dalam bisnis yang bersangkutan. Pada prakteknya banyak koperasi
yang setelah berkembang justru kehilangan jiwa koperasinya. Dominasi pengurus
dalam melaksanakan kegiatan usaha dan koperasi yang berbentuk PT (Perseroan
Terbatas) merupakan indikasi kekurangmampuan koperasi mengembangkan usaha
dengan tetap mempertahankan prinsip koperasi. Jika tidak diantisipasi kondisi
ini pada gilirannya akan mengaburkan tujuan pengembangan koperasi itu sendiri.
Keterkaitan kegiatan koperasi dengan kegiatan pelayanan usaha umum, hal yang
menonjol adalah dalam interaksi koperasi dengan bank. Sifat badan usaha
koperasi dengan kepemilikan kolektif ternyata banyak tidak berkesuaian (compatible)
dengan berbagai ketentuan bank. Sehingga terpaksa dibuat kompromi dengan
menjadikan individu (anggota atau pengurus) sebagai penerima layanan bank
seperti kredit. Hal yang sama juga terjadi jika koperasi akan melakukan kontrak
usaha dengan lembaga lain. Kondisi ini berhubungan erat dengan aspek hukum
koperasi yang tidak berkembang sepesat badan usaha perorangan. Di samping itu
karakteristik koperasi tampaknya kurang terakomodasi dalam berbagai aturan
perundang-undangan yang menyangkut badan usaha selain undang-undang tentang
koperasi sendiri. Hal ini terlihat misalnya dalam peraturan perundang-undangan
tentang perbankan, perpajakan dan sebagainya.
Pengembangan kerjasama usaha antar koperasi,
konsentrasi pengembangan usaha koperasi selama ini banyak ditujukan bagi
koperasi sebagai suatu perusahaan (badan usaha). Tantangan untuk membangun
perekonomian yang koperatif sesuai amanat konstitusi kiranya dapat dilakukan
dengan mengembangkan jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi,
bukan hanya keterkaitan organisasi potensial untuk dikembangkan antar koperasi
primer serta antara primer dan sekunder. Perlu pula menjadi catatan bahwa diberbagai
negara lain koperasi telah kembali berkembang dan salah satu kunci
keberhasilannya adalah spesialisasi kegiatan usaha koperasi dan kerjasama antar
koperasi.
Peningkatan kemampuan usaha koperasi pada umumnya
seperti permodalan, pemasaran, dan manajemen umumnya masih lemah. Telah cukup
banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut, namun
masih sering bersifat parsial, tidak kontiniu bahkan tidak sesuai dengan
kebutuhan. Pendampingan dalam suatu proses pemberdayaan yang alamiah dan untuk
mengembangkan kemampuan dari dalam koperasi sendiri tampaknya lebih tepat dan
dibutuhkan.
Peningkatan citra koperasi, pengembangan kegiatan usaha
koperasi tidak dapat dilepaskan dari citra koperasi di masyarakat. Harus diakui
bahwa citra koperasi belum atau sudah tidak seperti yang diharapkan. Masyarakat
umumnya memiliki kesan yang tidak selalu positif terhadap koperasi, Koperasi
banyak diasosiasikan dengan organisasi usaha yang penuh dengan ketidakjelasan,
tidak professional, justru mempersulit kegiatan usaha anggota (karena berbagai
persyaratan) banyak mendapat campur tangan pemerintah dan sebagainya. Di media
massa berita negatif tentang koperasi tiga kali lebih banyak dari berita
positifnya. Citra koperasi tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi hubungan
koperasi dengan pelaku usaha lain maupun perkembangan koperasi itu sendiri.
Bahkan citra koperasi yang kurang pas tersebut juga turut mempengaruhi
pandangan mereka yang terlibat di koperasi, sehingga menggantungkan diri dan
mencari peluang dalam hubungannya dengan kegiatan pemerintah justru dipandang
sebagai hal yang wajar bahkan sesuatu yang sudah seharusnya demikian.
Memperbaiki dan meningkatkan citra secara umum merupakan suatu tantangan yang
harus segera mendapat perhatian.
Penyaluran aspirasi para pengusaha umumnya memiliki
asosiasi pengusaha untuk dapat menyalurkan dan menyampaikan aspirasi usahanya,
bahkan juga sekaligus sebagai wahana bagi pendekatan (lobby) politik dan
meningkatkan keunggulan posisinya dalam berbagai kebijakan pemerintah. Asosiasi
tersebut juga dapat dipergunakan untuk melakukan negosiasi usaha, wahana
pengembangan kemampuan bahkan dalam rangka mengembangkan hubungan
internasional. Dalam hal ini asosiasi atau lembaga yang dapat menjadi wahana
bagi penyaluran aspirasi koperasi relatif terbatas. Hubungan keorganisasian
vertikal tampaknya belum dapat menampung berbagai keluhan atau keinginan
anggota koperasi atau koperasi itu sendiri.
KESIMPULAN
Berdasarkan penulisan di atas maka dapat disimpulkan
:
Pertama, pendekatan pengembangan koperasi yang harus
dilakukan adalah menggunakan pendekatan pengembangan kelembagaan secara
partisipatif dan menghindari pengembangan yang berdasarkan pada kepatuhan atas
arahan dari lembaga lain. Masyarakat perlu ditumbuhkan kesadarannya untuk mampu
mengambil keputusan sendiri demi kepentingan mereka sendiri. Dalam hal ini
proses pendidikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai koperasi menjadi faktor kunci
yang sangat menentukan.
Kedua, diperlukan kerangka pengembangan yang
memberikan apresiasi terhadap keragaman lokal yang disertai oleh berbagai
dukungan tidak langsung tetapi jelas memiliki semangat kepemihakan kepada
koperasi dan ekonomi rakyat. Dengan demikian strategi pengembangan yang perlu
dikembangkan adalah strategi yang partisipatif. Hal ini akan menumbuhkan
perubahan pendekatan yang mendasar dibandingkan dengan strategi yang selama ini
diterapkan. Rekonseptualisasi sekaligus revitalisasi peran pemerintah akan
menjadi faktor yang paling menentukan dalam perspektif pengembangan
partisipatif ini.
Referensi:
Bayu Krisnamurti, Djabarudin Djohan, “Membangun
Koperasi Pertanian berbasis Anggota” Jakarta, 2002.
Bayu Krisnamurti, Pusat Studi Pembangunan (PSP)
Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor, 2002.
R.J. Kaptin Adisumarta, dalam buku Mubyarto &
Daniel W. Bromley, “A Development Alternative for Indonesia”, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2002