Pertanyaan itu mungkin sering
kita ungkapkan, terlebih bagi pemuda-pemuda Batak yang sudah cukup umur untuk
melangsungkan pernikahan namun terpaksa harus menunda karena satu alasan belum
cukup sinamot. Kenapa tidak dihapuskan saja sinamot itu, bukankah sinamot itu
membuat laju pertumbuhan orang batak jadi lambat, sementara siboru sibuk melanjutkan sekolahnya
tinggi-tinggi berharap kelak sinamotnya juga tinggi, padahal setelah menikah
pun dia tetap harus bertugas di dapur, sampai kapan orang Batak seperti itu?
Itu adalah sebaris pertanyaan
yang mengusik perhatianku untuk mencoba menggali apa sebenarnya makna dan
tujuan diberlakukannya sinamot itu. Tentu kita semua tahu bahwa sinamot adalah
uang mahar yang merupakan salah satu adat dan budaya batak yang diperuntukkan
untuk “membeli” seorang perempuan untuk dijadikan sebagai istri. Kata “membeli”
dalam konteks ini bukanlah membeli dalam dunia pasar ekonomi pada umumnya
sebagaimana kita ketahui dalam pasar barang dan jasa, walaupun kenyataannya
setiap hal yang kita lakukan tak bisa lepas dari persoalan ekonomi, begitu juga
dengan sinamot ini, ceteris paribus yang menyatakan bahwa faktor harga
memberikan pengaruh secara menyeluruh ke semua aspek.
Saya bisa berkesimpulan bahwa
nenek moyang orang Batak itu adalah orang-orang ekonom handal yang mampu
berpikir secara luas dan mempertimbangkan segala aspek, bisa menyeimbangkan
seluruh aspek sosial dengan aspek ekonomi. Betapa tidak, tatanan adat dan
budaya Batak berhasil diciptakan dan diterapkan secara turun temurun kepada
generasi penerusnya. Budaya paternalis yang dianut mengharuskan garis keturunan
diteruskan oleh kaum laki-laki dan memberikan mandat langsung kepada kaum
laki-laki untuk menjadi pemimpin keluarga. Namun budaya ini juga memberikan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kaum perempuan seperti dalam
pembahasan ini yakni sinamot. Sinamot itu adalah sejumlah uang atau benda yang
diberikan pihak paranak kepada parboru sebagai penghargaan atas upaya parboru dalam membesarkan anak perempuannya
namun tidak bisa berhak sepenuhnya lagi atas jasa dan tenaga anak perempuannya.
Cukup adil bukan? Luar biasa
nenek moyang kita yang sudah mampu menciptakan tatanan adat sedemikian rupa,
mampu menyeimbangkan antara kedudukan atau derajat yang tinggi yang diberikan
langsung kepada kaum laki-laki dan penghargaan yang tinggi kepada kaum
perempuan.
Lalu benarkah semakin besar
sinamot maka semakin tinggi penghargaan kepada perempuan? Dalam hal ini saya
tegas berkata itu tidak benar. Besaran sinamot bukanlah patokan bahwa perempuan
itu sudah dihargai setinggi-tingginya. Besaran sinamot itu lebih condong
kepembahasan masalah ekonomi cateris paribus yang saya ungkapkan sebelumnya.
Jaman dahulu mungkin belum ada transportasi mewah seperti sekarang ini, dan
tentu saja besaran sinamot tergantung situasi dan kondisi yang berlaku, jika
jaman dahulu sinamot seadanya sesuai harga dan nilai uang saat itu, maka
sekarang demikian juga. Tak pernah sekalipun terdengar rumor yang mengatakan bahwa
pihak parboru merasa sangat beruntung atas sinamot
yang diterima dari pernikahan anak perempuannya, malahan sinamot yang diterima
itu terkadang tidak cukup untuk menutupi segala kerugian yang ditanggung pihak parboru saat menghadiri pesta
pernikahan anak perempuannya itu. Lalu, adilkah jika kita mengatakan sinamot
itu harus dihapuskan?
Apa dampak yang bisa kita lihat
dari pemberlakuan sinamot dalam kehidupan orang Batak? Setidak-tidaknya orang
Batak itu telah dilatih untuk memegang sebuah tanggungjawab yang besar dalam
setiap pengambilan keputusan, dalam hal ini keputusan utuk berumah
tangga. Kita tau semakin susah untuk mendapatkan sesuatu, semakin kita
menghargai sesuatu itu. Tak terlepas dalam hal pernikahan, bandingkan angka
perceraian yang terjadi pada daerah-daerah yang sangat mudah melangsungkan
pernikahan dalam hal ini cukup menikah dibawah tangan saja dan atas dasar suka
sama suka. Tak bisa kita pungkiri bahwa hal itu cukup membawa dampak dan
pengaruh yang kuat atas langgengnya kehidupan berumahtangga.
Bagaimana dengan rumor yang
mengatakan bahwa anak perempuan disekolahkan setinggi-tingginya agar kelak
sinamotnya juga besar? Jika demikian alasannya, sia-sialah sekolah yang tinggi
itu, sekolah yang tinggi bukanlah semata-mata supaya sinamotnya tinggi, sangat
dangkal pemikiran kita jika kita sampai berpikir seperti itu. Disamping
emansipasi perempuan yang gencar-gencarnya saat ini, perempuan juga sangat
perlu dibekali pengetahuan yang baik agar kelak bisa mendidik anak-anaknya
menjadi generasi penerus yang cerdas dan bermutu. Perempuan memegang peranan
yang sangat penting untuk kemajuan suatu bangsa dalam hal ini mencerdaskan dan
memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anaknya sejak dini. Jika perempuan
itu tidak punya pengetahuan yang baik, bagaimanakah dia bisa mendidik
anak-anaknya dengan baik juga?
Seperti disinggung sebelumnya
diatas, bahwa sinamot sangat mempengaruhi lambatnya pertumbuhan orang Batak
karena berhubungan dengan faktor usia, sebab jika usia menikahnya sudah tua tentu
akan mempengaruhi produktifitas kesuburan. Data ini memang benar, namun data
ini tidaklah bisa dijadikan sebagai acuan, sebab untuk menikah tidaklah
diwajibkan harus ‘mangadati’ kalau
memang belum mampu membayar adat sinamot nya. Faktor yang lebih dominan
yang membuat seseorang berpikir tidak ingin memiliki banyak anak adalah faktor
pendidikan, sebab seseorang sudah mampu membuat perhitungan bagaimana
mewujudkan generasi yang berkualitas bukan kuantitas.
Lalu benarkah seorang pria lambat
menikah karena sinamot yang belum cukup seperti jawaban yang biasa dikatakan
pria pada umumnya? Menurut saya itu tidak benar, jawaban itu adalah jawaban
pembelaan diri atas ketidakberanian dan keragu-raguan seorang pria dalam
mengambil keputusan. Pria cukup takut atas besarnya tanggung jawab yang akan
dia emban namun tidak mau untuk mengakui ketakutannya itu. Maka sebagian besar
mereka berdalih mengatakan sinamot belum cukup karena mahal. Lantas siapa yang
harus dipersalahkan? Nenek moyang kah yang sudah menciptakan adat dan budaya
sinamot itu atau situasi dan kondisi perekonomian yang menuntut segala sesuatu
hitung-hitungan dengan sejumlah uang, atau kah si pria yang dipercayakan
sebagai pemimpin namun harus dibebani tanggungjawab yang begitu besar?
Nah saya rasa paparan ini cukup
jelas untuk menjawab pertanyaan kita. Masihkah SINAMOT menjadi momok yang
menakutkan bagi kita? Semoga saja tidak.
Jecqlien Netty Marpaung, 05092012
***
Kosakata,
Siboru = anak perempuan
Paranak = keluarga
laki-laki
Parboru = keluarga
perempuan
Mangadati = melunaskan
hutang sinamot
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
BalasHapusJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)