"I have two dads."
"What?? Mank nyokap loe 2x kawin apa?"
"Sembarangan, ntar dulu, jangan asal vonis, dengerin dulu baru.."
Yup,
the first, bokap kandung gue. Bokap yang gue panggil dengan kata "Pak
atau Bapak" ini adalah sosok yang tegas, demokratis, ulet, jujur,
sederhana, dan tentu saja pintar atau cukup cerdas untuk ukuran generasi
jaman dulu yang tidak sempat mengecap pendidikan menengah atas.
Aku
masih ingat sejak kecil aku sangat dekat dengan Bapak, bahkan di antara
tujuh bidadari-bidadarinya (anak perempuan) Bapak, akulah yang paling
dekat dengan beliau.
Akh..loe terlalu ngerasa kali Net, belom tentu juga kale...
Hahaha...berani
saya katakan demikian karena saudara-saudara saya juga pada ngomong
begitu, saya sering disebut "Boru Hasiannya Bapak" di rumah.
Kegemarannya sama, kalau mama dan kakak-kakak saya lebih senang nonton
sinetron, gue dan Bapak lebih senang nonton Dunia Dalam Beritanya TVRI
jaman doeloe tuh, sekarang aja baru ada Metro dan TVone. Dan satu alasan
lagi mengapa saya katakan demikian, karena dalam pemberian nama
anak-anaknya, sayalah satu-satunya anak perempuan yang diberikan nama
oleh Bapak saya, selain anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga kami.
Pernah saya bertanya sama Bapak saya, mengapa dia memberikan nama saya seperti itu dan apa artinya, singkat saja jawaban Bapak,
"Nadirippu hian do bawa ho."
Apa??
Jadi sebelum saya lahir, mereka mengira sijabang bayi laki-laki?
Darimana mereka bisa tahu seperti itu yah? Ataukah "Purba"ku dulunya
diterima adalah purba untuk seorang anak laki-laki?
Wow.. I don't know, untuk hal ini Bapak dan mama sepertinya sepakat untuk merahasiakan.
Dan
memang ada korelasinya juga sih, sejak kecil aku termasuk anak yang
hyperaktif,tomboy dan tidak bisa diam. Bentuk-bentuk permainan anak
laki-laki dan perempuan bisa dibilang sayalah jagonya, dari suka manjat
pohon dulu (What?? Gak salah tuh Net?), main karet (nah yang ini
wajar..), mancing ikan, dan lain-lain. Dan bahkan main catur, saya
adalah rival terberat oleh Bapak saya..
Hahaha...sok banget loe Net, lo aja kalah terus koq...
Hehe..
Iya sich, mana bisa gue ngalahin Bokap main catur, wong Bokap saya
sekaliber Utut Adiyanto yang grandmaster itu..so wajarkan?? Hahaha...
Yah..Bapak
adalah sahabatku, sekaligus guruku. Dulu saya tidak mengecap pendidikan
di TK (karena dulu belom ada TK di kampung), tapi Bapak sudah
mengajarkan aku baca tulis dasar, terang aja begitu terima raport
pertama dapat juara satu, wong baca tulis "INI BUDI" sudah lancar
sich..hehehe...
Begitu beranjak SMP, aku didaftarkan Bapak ke
sekolah yang agak jauh dari rumah, alasannya lebih bermutu, hehe...soal
persamaan keinginan dan selera dengan Bapak, jangan ditanya deh...
Karena
lokasi sekolah sangat jauh dari rumah, aku harus memulai hidup terpisah
dari orang tua, nge-kost dan sudah diterapkan hidup mandiri.
Hadeeh...bisa
dibayangkan bagaimana susahnya dulu memulai hidup mandiri dan terpisah
dari orang tua di usia yang masih 12 tahun, tapi nasehat dan ajaran dari
orang tua saya yang selalu memberi keyakinan penuh pada saya bahwa saya
bisa, membuat saya menjadi pribadi yang kuat dan percaya diri.
Alhasil
sejak usia 12 tahun hingga sekarang, bisa dibilang saya tidak tinggal
dengan orang tua lagi. Paling sewaktu sekolah dulu kalau liburan sekolah
baru bisa pulang ke rumah, dan setelah kerja kalau ada cuti atau
natalan baru pulang kampung.
Yang bisa saya simpulkan dari cara
mendidik Bapak kepada saya adalah sewaktu saya masih kecil hingga
berumur 12 tahun, Bapak adalah teman sekaligus guru saya, Beliau
mengajarkan langsung bagaimana menikmati hidup, dan setelah saya remaja,
beliau memberi kepercayaan penuh pada saya untuk mampu menjalani hidup
sendiri. Dan dalam mengambil suatu keputusan dalam keluarga Bapak selalu
mengikut sertakan saran dan pendapat kami, tak jarang Bapak saya sering
menyepakati pendapat saya sebagai kesimpulan terakhir dalam keluarga.
Dan bahkan di dalam memilih program studipun Bapak saya punya pendapat yang brilian, klop, sesuai banget dengan pemikiran saya.
Jadi Boru Hasian berarti dimanja donk?
Tidak...
Saya tidak pernah dimanja atau lebih tepatnya tidak bisa
bermanja-manjalah. Kepercayaan diri penuh yang ditanamkan oleh orang tua
menjadikan saya menjadi pribadi yang bertanggungjawab akan keluarga,
posisi Bapak sebagai penanggungjawab kebutuhan keluarga secara tidak
langsung beralih pada saya, hal ini disebabkan oleh kondisi kesehatan
Bapak saya yang sudah menurun.
Yah begitulah, jika saya berkata
sesuatu atau menyarankan sesuatu kepada Bapak dan keluarga, tak pernah
sedikitpun Bapak saya meragukannya, beliau percaya penuh saya bisa
menghandlenya, baik itu urusan keuangan, pendidikan bahkan pergaulan
saya. Bisa dikatakan kalau saya ini adalah "Wonder woman"nya..hihihi...
Tapi
syukurlah setelah menginjak usia dewasa perlahan-lahan sifat tomboinya
luntur. Kalau dulu Bapak saya suka dengan model rambut saya yang
dipotong cepak, kini rambut panjang sudah jadi ciri khas ku. Kalau dulu
lebih simple dengan sepatu kets, sekarang tidak lengkap rasanya jika
tidak pake high heels.
Hehehe...perempuaan banget deh pokoknya.
The Second Dad.
Sosok
yang saya panggil dengan kata "Papa" ini adalah Bapauda yang jadi orang
tua angkat saya. "Papa" adalah panggilan lajim anak Jakarta kepada
ayahnya...hehehe...kan disini gue jadi anak Jakarta, kalau di kampung
yah jadi anak kampung, tul gak??
Bapauda yang jadi Papa angkat saya asli berbeda 180*derajat dari Bapak saya.
Berbeda apanya sich, berbeda baiknya maksud lo?
Oh..no..no..no.. Bukan itu, both of my Dads are good, handsome, clever, etc. So what gituloh...
Bokap
gue yang atu ini selalu nganggap gue tuh kayak masih kecil
aje..hehe...abis kerja langsung pulang ke rumah, kagak bisa
nongkrong-nongkrong, kagak boleh ini kagak boleh
itu...wakawakawaka...ribet gak sih... Sering gue bilang,
"Duh..papa, Netty dah gede lagi."
huuhh..tetep
aja gak digubris. Hehehe...wajar memang si Bokap khawatiran, abis dia
ga mau ngeliat anak manisnya terpengaruh pergaulan bebas anak-anak
metropolitan yang waah..auzubilee. Sampai-sampai saya harus janji sama
Papa,
"Papa, gak usah bilang aku borumu, atau gak usah bilang aku
boru Marpaung lagi jika nanti Papa dengar macam-macam berita miring
tentang aku."
Terang aja si Bokap diam seribu bahasa mendengar janji
anak manisnya yang keras kepala. Akhirnya lolos deh Surat izin
melanglang buana di dunia metropolis ini.
"Ada uangmu gak?" pertanyaan wajib bokap gue selalu.
"Gak ada Pa," bohongku dengan mimik tak berdosa.
Sekejap
aja 2 lembar uang merah seratus ribuan berpindah kepemilikan ke tangan
saya. Cihuyyy...kalau sudah begini tak sabar lagi aku peluk Papa saya
sembari bilang,
"Cie..cie..makasih Papa."
"Dah..pulanglah ke rumah." hmm..gini nih konsekuensinya, harus pulang.
Tapi
anehnya jika kepada Bapak saya, saya tidak bisa memberikan uang, saya
tidak akan merasa puas, sebaliknya dengan Papa, jika belum mendapatkan
uang saya tidak akan merasa puas. Berapapun itu uang yang diberikan
Papa, sangat-sangat puas rasanya menerima itu. Sebaliknya, berapapun
yang bisa saya kirimkan pada Bapak di kampung, akan sangat puas rasanya
memberikan itu.
Jika Bapak saya memberi kepercayaan penuh pada
saya dalam bergaul dengan teman terutama dengan teman pria, berbeda
dengan Papa saya, hahaha...bisa dibayangkan soroton mata Papa saya yang
tajam ngelirik tampang si cowok yang duduk dekat-dekat dengan saya
misalnya. Bahkan pernah suatu ketika Papa saya marah dan hampir saja
balikin aku ke kampung hanya gara-gara seseorang memberikan tawaran job
pada saya, Papa saya berpikir saya ditawarin job karena seseorang itu
ada hati dengan saya, bukan karena kemampuan saya.. Wahuahua... Gaswat
nih... Masih ingat apa yang dibilang Papa dulu ke abang, "Kau, selidiki
dulu, siapa itu yang ngasih tawaran job sama dia."
Kebayangkan gimana repotnya jadi anak protect??
Hehehe..tapi asyik juga, ngeliat Papa marah-marah kayak gitu..
qiqiqiqi...
Asli,
apa yang tidak pernah kudapatkan dari Bapak saya, telah ku dapat dari
Papa saya. Lengkap sudah rasanya jadi seorang anak, ku bisa bermanja,
merajuk, menangis, tertawa, gembira dan semua-muanya deh...
Tapi
sekarang, both of my Dads lagi sama-sama di Sumatera. Ah..kerasa banget
gue jauh-jauhan dari sosok-sosok itu. Papa yang ada urusan bisnisnya
harus berlama-lama pula di sana. Jujur...kangen banget, yang biasanya
gue sering bilang, "Pa..bagi duit" harus nahan dulu.
"Heehh..kapan sih Papa balik ke Jakarta, gue kangen tauk..."
Huufftt...gini nih dampaknya kalau "Roha Bapaon." kangen stadium tingkat tinggi.
Dan sudah tradisi, katanya kalau Marpaung lebih sayang "Marboru" daripada sama "Anak"nya.
Bener gak seeehh...
Kalau gue bilang bener banget, gue nih saksinya, karena dimanja jadi "ROHA BAPAON."
Hahaha...on ma boru Sonak Malela na roha Bapaon i.
I MISS U DADS..
CamRa, 06 05 11
Jenet Marpaung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar