Menurut undang-undang perbankan, secara umum fungsi
bank yaitu menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, serta
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman dan bentuk lainnya yang
bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dalam praktek perekonomian, modal merupakan hal yang
sangat penting dalam proses kelanjutan sebuah perekonomian, baik secara makro
(besar-negara) maupun mikro (kecil-lembaga keuangan dan sector ekonomi kecil
lainnya, seperti industry rumah tangga, pedagang, buruh, petani, pengusaha
kecil dan lain-lain). Akses terhadap sumber modal financial (keuangan) menjadi
sangat penting untuk kelancaran sebuah aktivitas ekonomi. Namun pentingnya
akses modal, tidak diimbangi dengan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap
lembaga keuangan yang terbebas dari praktik bunga/riba, menjadikan masyarakat
seolah tidak memiliki pilihan dalam memperoleh modal finansial. Di sisi lain
adanya jaminan ketat yang diberlakukan oleh pihak lembaga keuangan menjadikan
ketakutan tersendiri bagi masyarakat tradisional. Oleh karena itu, masyarakat
tidak berani untuk mengajukan pinjaman (kredit)nya terhadap lembaga keuangan
terkait, sehingga pada implikasi (akibat)nya bank keliling sebagai sumber akses
modal “tradisional” menjadi solusi awal dan akhir bagi masyarakat tradisional
untuk melakukan pinjaman (kredit) usahanya.
Apa sih bank keliling itu?
Secara praktek bank keliling yaitu bank yang
melakukan penghimpunan dana dan penyaluran pinjaman secara aktif dengan
langsung mendatangi nasabah, dan kebanyakan dilakukan oleh perseorangan atau
individu yang memiliki financial cukup kuat di suatu komunitas masyarakat.
Namun upaya bantuan (jeratan?) pinjaman oleh bank keliling pada prakteknya
kerap kali memberikan pinjaman dengan adanya penambahan pengembalian terhadap
nilai yang dipinjam oleh masyarakat. Hal ini menjadikan akses yang disebut
dengan “lingkaran pemiskinan ekonomi rakyat”, dimana peminjam harus melakukan
penambahan pengembalian yang ditentukan sejak awal peminjaman. Betapa tidak,
masyarakat yang diberikan pinjaman harus memberikan tambahan yang besarannya
bervariatif, dari 5% sampai 30% atau bahkan sampai 100% sekalipun terhadap
nilai atau jumlah nominal yang dipinjam oleh masyarakat dari pihak bank
keliling. Dengan penentuan besaran pengembalian tersebut menjadikan peminjam
harus berhasil atau untung dalam melakukan usahanya, bukankah dalam
melakukan sebuah usaha tentu tidak akan lepas dengan risk and return (risiko
rugi dan untung), bagaimana jika si peminjam mengalami kerugian pada usahanya,
namun pihak bank keliling “pemberi pinjaman” tidak mau tahu akan kondisi nasabahnya
dengan tetap harus mengembalikan jumlah uang yang dipinjam serta penambahan
(bunga) yang telah ditetapkan di awal, bukankah itu merupakan pembunuhan
ekonomi, pembangkrutan rakyat, pencekik ekonomi rakyat kecil dan lebih kejamnya
lagi pemiskinan rakyat?
Apakah sistem seperti itu “bank keliling” memiliki
nilai keadilan (justice/fairness) bagi masyarakat yang tengah merangkak
membangun ekonominya, memberikan ketenangan pada pihak peminjam, bukankah
penekanan seperti itu akan memberikan efek negative pula terhadap aktivitas
ekonomi masyarakat, dimana masyarakat “peminjam” harus untung dengan
menghalalkan segala cara demi mampu membayar hutang beserta tambahan
yang ditetapkan oleh bank keliling atau lebih tepatnya rentainir? Pada kondisi
seperti itu, hakikatnya masyarakat tengah di sengat dan tersandera rentainer
Oleh karena itu:
· Apakah
kita sebagai masyarakat masih mau dimiskinkan dengan melakukan praktek riba
melalui bank keliling/rentainer?
· Apakah
kita tidak ingin lebih adil terhadap ekonomi (usaha) yang kita lakukan dengan
menjauhi praktek riba?
Jadi, marilah kita sama-sama menjauhi praktek riba
atau bunga dan melakukan kegiatan ekonomi yang sehat untuk
memperoleh kemudahan dalam kehidupan kita!
Jakarta, 15/1/13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar