NETTI NATARIDA MARPAUNG

WELLCOME TO MY BLOG..

I'M A DREAMER, AND I WANNA MAKE MY DREAMS COME TRUE.

Kamis, 11 Oktober 2012

“KENAPA HARUS ADA SINAMOT?”


Pertanyaan itu mungkin sering kita ungkapkan, terlebih bagi pemuda-pemuda Batak yang sudah cukup umur untuk melangsungkan pernikahan namun terpaksa harus menunda karena satu alasan belum cukup sinamot. Kenapa tidak dihapuskan saja sinamot itu, bukankah sinamot itu membuat laju pertumbuhan orang batak jadi lambat, sementara siboru sibuk melanjutkan sekolahnya tinggi-tinggi berharap kelak sinamotnya juga tinggi, padahal setelah menikah pun dia tetap harus bertugas di dapur, sampai kapan orang Batak seperti itu?

Itu adalah sebaris pertanyaan yang mengusik perhatianku untuk mencoba menggali apa sebenarnya makna dan tujuan diberlakukannya sinamot itu. Tentu kita semua tahu bahwa sinamot adalah uang mahar yang merupakan salah satu adat dan budaya batak yang diperuntukkan untuk “membeli” seorang perempuan untuk dijadikan sebagai istri. Kata “membeli” dalam konteks ini bukanlah membeli dalam dunia pasar ekonomi pada umumnya sebagaimana kita ketahui dalam pasar barang dan jasa, walaupun kenyataannya setiap hal yang kita lakukan tak bisa lepas dari persoalan ekonomi, begitu juga dengan sinamot ini, ceteris paribus yang menyatakan bahwa faktor harga memberikan pengaruh secara menyeluruh ke semua aspek.

Saya bisa berkesimpulan bahwa nenek moyang orang Batak itu adalah orang-orang ekonom handal yang mampu berpikir secara luas dan mempertimbangkan segala aspek, bisa menyeimbangkan seluruh aspek sosial dengan aspek ekonomi. Betapa tidak, tatanan adat dan budaya Batak berhasil diciptakan dan diterapkan secara turun temurun kepada generasi penerusnya. Budaya paternalis yang dianut mengharuskan garis keturunan diteruskan oleh kaum laki-laki dan memberikan mandat langsung kepada kaum laki-laki untuk menjadi pemimpin keluarga. Namun budaya ini juga memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kaum perempuan seperti dalam pembahasan ini yakni sinamot. Sinamot itu adalah sejumlah uang atau benda yang diberikan pihak paranak kepada parboru sebagai penghargaan atas upaya parboru dalam membesarkan anak perempuannya namun tidak bisa berhak sepenuhnya lagi atas jasa dan tenaga anak perempuannya.

Cukup adil bukan? Luar biasa nenek moyang kita yang sudah mampu menciptakan tatanan adat sedemikian rupa, mampu menyeimbangkan antara kedudukan atau derajat yang tinggi yang diberikan langsung kepada kaum laki-laki dan penghargaan yang tinggi kepada kaum perempuan.

Lalu benarkah semakin besar sinamot maka semakin tinggi penghargaan kepada perempuan? Dalam hal ini saya tegas berkata itu tidak benar. Besaran sinamot bukanlah patokan bahwa perempuan itu sudah dihargai setinggi-tingginya. Besaran sinamot itu lebih condong kepembahasan masalah ekonomi cateris paribus yang saya ungkapkan sebelumnya. Jaman dahulu mungkin belum ada transportasi mewah seperti sekarang ini, dan tentu saja besaran sinamot tergantung situasi dan kondisi yang berlaku, jika jaman dahulu sinamot seadanya sesuai harga dan nilai uang saat itu, maka sekarang demikian juga. Tak pernah sekalipun terdengar rumor yang mengatakan bahwa pihak parboru merasa sangat beruntung atas sinamot yang diterima dari pernikahan anak perempuannya, malahan sinamot yang diterima itu terkadang tidak cukup untuk menutupi segala kerugian yang ditanggung pihak parboru saat menghadiri pesta pernikahan anak perempuannya itu. Lalu, adilkah jika kita mengatakan sinamot itu harus dihapuskan?

Apa dampak yang bisa kita lihat dari pemberlakuan sinamot dalam kehidupan orang Batak? Setidak-tidaknya orang Batak itu telah dilatih untuk memegang sebuah tanggungjawab yang besar dalam setiap pengambilan  keputusan, dalam hal ini keputusan utuk berumah tangga. Kita tau semakin susah untuk mendapatkan sesuatu, semakin kita menghargai sesuatu itu. Tak terlepas dalam hal pernikahan, bandingkan angka perceraian yang terjadi pada daerah-daerah yang sangat mudah melangsungkan pernikahan dalam hal ini cukup menikah dibawah tangan saja dan atas dasar suka sama suka. Tak bisa kita pungkiri bahwa hal itu cukup membawa dampak dan pengaruh yang kuat atas langgengnya kehidupan berumahtangga.

Bagaimana dengan rumor yang mengatakan bahwa anak perempuan disekolahkan setinggi-tingginya agar kelak sinamotnya juga besar? Jika demikian alasannya, sia-sialah sekolah yang tinggi itu, sekolah yang tinggi bukanlah semata-mata supaya sinamotnya tinggi, sangat dangkal pemikiran kita jika kita sampai berpikir seperti itu. Disamping emansipasi perempuan yang gencar-gencarnya saat ini, perempuan juga sangat perlu dibekali pengetahuan yang baik agar kelak bisa mendidik anak-anaknya menjadi generasi penerus yang cerdas dan bermutu. Perempuan memegang peranan yang sangat penting untuk kemajuan suatu bangsa dalam hal ini mencerdaskan dan memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anaknya sejak dini. Jika perempuan itu tidak punya pengetahuan yang baik, bagaimanakah dia bisa mendidik anak-anaknya dengan baik juga?

Seperti disinggung sebelumnya diatas, bahwa sinamot sangat mempengaruhi lambatnya pertumbuhan orang Batak karena berhubungan dengan faktor usia, sebab jika usia menikahnya sudah tua tentu akan mempengaruhi produktifitas kesuburan. Data ini memang benar, namun data ini tidaklah bisa dijadikan sebagai acuan, sebab untuk menikah tidaklah diwajibkan harus ‘mangadati’ kalau memang  belum mampu membayar adat sinamot nya. Faktor yang lebih dominan yang membuat seseorang berpikir tidak ingin memiliki banyak anak adalah faktor pendidikan, sebab seseorang sudah mampu membuat perhitungan bagaimana mewujudkan generasi yang berkualitas bukan kuantitas.

Lalu benarkah seorang pria lambat menikah karena sinamot yang belum cukup seperti jawaban yang biasa dikatakan pria pada umumnya? Menurut saya itu tidak benar, jawaban itu adalah jawaban pembelaan diri atas ketidakberanian dan keragu-raguan seorang pria dalam mengambil keputusan. Pria cukup takut atas besarnya tanggung jawab yang akan dia emban namun tidak mau untuk mengakui ketakutannya itu. Maka sebagian besar mereka berdalih mengatakan sinamot belum cukup karena mahal. Lantas siapa yang harus dipersalahkan? Nenek moyang kah yang sudah menciptakan adat dan budaya sinamot itu atau situasi dan kondisi perekonomian yang menuntut segala sesuatu hitung-hitungan dengan sejumlah uang, atau kah si pria yang dipercayakan sebagai pemimpin namun harus dibebani tanggungjawab yang begitu besar?

Nah saya rasa paparan ini cukup jelas untuk menjawab pertanyaan kita. Masihkah SINAMOT menjadi momok yang menakutkan bagi kita? Semoga saja tidak.

Jecqlien Netty Marpaung, 05092012

***
Kosakata,
Siboru = anak perempuan
Paranak = keluarga laki-laki
Parboru = keluarga perempuan
Mangadati = melunaskan hutang sinamot

1 komentar:

  1. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    BalasHapus