Saya masih ingat di kampung orang tua saya dulu, kalau ada pemilihan kepala desa, ujung-ujungnya berbuah perpecahan, blok yang satu pro ke si A dan blok yang satu pro ke si B. Mulai dari sosialisasi calon sampai selesai masa jabatan calon yang terpilih kedua blok itu tetap saja menyimpan sekat antara pendukung si A dan si B. Selama 5 tahun berjalan kepemimpinan lurah terpilih, kelompok dari lurah yang kalah sudah jarang bertutur sapa dengan baik dengan kelompok lurah yang menang. Nah setelah habis masa jabatannya, lurah B tersebut kemudian mencalonkan lagi, dan calon yang maju sebagai saingannya adalah lurah si C, bukan si A yang nota bene pernah dikalahkan si B. Namun apa dikata, kelompok pendukung si A yang sudah 5 tahun enggan bertutur sapa dengan si B serta merta mendukung si B. Dari situlah terjalin kembali tali silaturahmi yang terputus selama 5 tahun.
Pun begitu juga dengan pilpres di Indonesia kali ini, sejak dari zaman kampanye hingga sekarang presiden sudah terpilih, sekat itu masih apik dipelihara. Pendapat-pendapat, opini-opini masih saling serang, merasa seolah merekalah yang paling benar, dan pengakuan terhadap calon yang terpilih masih sulit untuk diterima.
Saya yakin hingga masa jabatan presiden terpilih tersebut, pola pikir pendukung kedua kubu ini akan tetap berseberangan, dan menurut saya keadaan itu akan pulih dengan sendirinya jika kedua orang atau salah satu dari calon presiden yang bertarung di pilpres lalu tidak mencalonkan diri lagi pada pilpres yang akan datang.
Bekasi, 10152014
Netti. N. M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar